Kamis, 05 Februari 2009

Asal mula cuci darah dan cangkok ginjal

Rabu, 15 Oktober 2008 | 08:40 WIB

GINJAL buatan atau mesin cuci darah (dialysis machine-red) yang menolong jutaan penderita gangguan dan gagal ginjal, ditemukan oleh pria Belanda Willem Kolf (1911) semasa Perang Dunia II dengan uji coba pertama dilakukan tahun 1943. Demi pengabdian kepada kemanusiaan, Kolff menolak untuk mengajukan paten atas temuan mesin cuci darah.

Kolff akhirnya hijrah ke Amerika Serikat tahun 1950 dan melanjutkan penelitian pengembangan mesin jantung buatan di rumah barunya di Cleveland Clinic Foundation.

Asal mula eksperimen transplantasi ginjal dilakukan di Prancis tahun 1909 dengan meng ganti ginjal manusia yang rusak dengan ginjal hewan. Namun, tidak ada penerima transplantasi ginjal yang selamat.

Demikian pula sebelum para peneliti mengenal kecocokan jaringan tubuh, jenis golongan darah dan kekebalan tubuh, upaya transplantasi ginjal dari manusia ke manusia juga tetap gagal memberikan hasil. Perlahan tetapi pasti, para ilmuwan mendapati tubuh manusia selalu menolak bagian tubuh yang bukan berasal dari dirinya sehingga harus dicari jalan untuk mengatasi hal itu.

Akhirnya di tahun 1947, Charles Hufnagel (1916-1918) seorang ahli bedah di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat, menc oba menanam ginjal dari orang yang baru meninggal di tubuh seorang perempuan yang menderita penyakit ginjal akut dan didiagnosa nyawanya hanya bertahan beberapa jam lagi. Ginjal dari donor ditanam di bagian tangan pasien perempuan yang kondisinya terlalu lemah untuk dibawa ke kamar operasi. Operasi dilakukan di kamar pasien dengan pencahayaan minim.

Namun, akhirnya operasi membuahkan hasil karena ginjal donor mulai bekerja sesaat setelah disambungkan ke aliran darah tubuh pasien. Meski pun, ginjal donor akhirnya tidak berfungsi setelah beberapa hari kemudian, tenggang waktu itu memungkinkan ginjal asli si pasien untuk pulih kembali seperti sediakala!

Upaya transplantasi ginjal manusia yang berhasil sempurna, dilakukan dokter Joseph Murray (1919) pada tanggal 23 Desember 1954, di Rumah Sakit Peter Brigham di Boston, Massachusetts, Amerika Serikat . Murray mengambil ginjal dari Ronald Herrick dan menanamkan kepada saudara kembar identiknya, Richard.

Upaya tersebut memperpanjang usia Richard hingga delapan tahun dan Ronald masih hidup hingga kini. Atas jasanya, Dokter Murray akhirnya diganjar hadiah Nobel bidang Fisiologi atau Medis di tahun 1990. (Iwan Santosa disarikan dari The Book of Origins, Plume Book, England 2007)


Iwan Santosa
Sumber : Kompas Cetak

Cuci darah dan cangkok ginjal

Minggu, 18 Mei 2008 | 11:17 WIB

KAKAK laki-laki saya berumur 46 tahun telah tiga tahun ini menjalani cangkok ginjal. Untunglah dia pegawai negeri sehingga pembiayaan pengobatan didukung asuransi kesehatan pegawai negeri.

Dia memang sudah lama diketahui menderita batu ginjal dan mengalami infeksi ginjal berkali-kali. Kemudian fungsi ginjalnya menurun secara progresif sehingga tiga tahun lalu dokter memutuskan harus cuci darah. Dia masih mencoba ke kantor semampunya dan juga mulai menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Meski dengan keterbatasan kesehatan, dia mampu melaksanakan tugas utamanya di kantor.

Belakangan ini dia mulai mengalami depresi setelah beberapa orang pasien cuci darah yang dia kenal meninggal dunia. Dia mulai merasa dia juga akan meninggal dalam waktu tak terlalu lama. Saya mencoba menanyakan kepada dokter yang merawat beliau, ternyata keadaan kesehatan kakak saya masih stabil. Ini sesuai dengan kemampuan fisiknya yang kami lihat sebagai orang awam.

Saya mencoba mengerti perasaan kakak saya. Tentu tidak menyenangkan menjalani cuci darah. Dia harus teratur menjalaninya, diantar istrinya. Tak boleh terlambat karena jadwal penggunaan mesin cuci darah amat ketat. Jumlah orang yang memerlukan cuci darah rupanya jauh lebih banyak daripada mesin yang tersedia, apalagi bagi pasien cuci darah yang dibiayai asuransi kesehatan.

Karena sering bertemu, para pasien berkenalan, bersahabat dan bersimpati. Jika ada teman meninggal, mereka ikut sedih, seperti layaknya keluarga sendiri yang meninggal dan secara tidak langsung mengingatkan mereka mungkin tak lama lagi mereka juga akan mengalami hal serupa.

Saya membaca sebenarnya terapi gagal ginjal yang terbaik adalah cangkok ginjal. Kami pernah membicarakan hal ini di keluarga dan karena masih bujangan, saya bersedia menyumbangkan ginjal untuk kakak.

Saya mendapat informasi meski ginjal kita disumbangkan satu sehingga kita hanya hidup dengan satu ginjal, tetapi kualitas hidup kita akan tetap baik. Niat tersebut saya sampaikan kepada kakak saya dan dia ternyata juga amat antusias.

Setelah mendapat informasi lebih banyak dari dokter yang merawat kakak saya ternyata ada beberapa kendala. Salah satunya biaya. Ternyata asuransi kesehatan belum dapat membiayai cangkok ginjal.

Pertanyaan saya, kenapa asuransi kesehatan belum bersedia membiayai cangkok ginjal di Indonesia? Apakah di negara lain juga begitu? Bagaimana dengan kemampuan rumah sakit Indonesia dalam melaksanakan cangkok ginjal? Apakah mungkin dalam waktu dekat terapi cangkok ginjal lebih memasyarakat dan terjangkau? Terima kasih atas penjelasan Dokter. Apa penyebab gagal ginjal dan bagaimana mencegah agar kita tak sampai mengalami gagal ginjal?

M di J


Jumlah penderita gagal ginjal di Indonesia memang meningkat. Sebenarnya kakak Anda cukup beruntung karena banyak penderita gagal ginjal tak mendapat kesempatan menjalani cuci darah, biasanya disebabkan biaya cuci darah yang cukup mahal padahal tindakan cuci darah harus dilakukan 2-3 kali seminggu seumur hidup. Jadi, dapat kita bayangkan berapa biaya yang harus disediakan.

Jika kakak Anda harus membayar sendiri, mungkin beliau harus mengeluarkan uang sampai jutaan rupiah untuk cuci darah serta konsultasi dokter, pemeriksaan laboratorium, dan biaya lainnya.

Cangkok ginjal memang merupakan terapi pilihan untuk gagal ginjal terminal. Gagal ginjal di Indonesia biasanya disebabkan infeksi, batu, dan diabetes melitus. Belakangan ini kasus gagal ginjal pada penderita lupus eritematosus sistemik juga meningkat. Ini menambah antrean penderita yang memerlukan cuci darah.

Tindakan cangkok ginjal di Indonesia sudah lama dilaksanakan, bahkan terapi ini sudah tersebar di beberapa kota besar, tidak hanya di Jakarta.

Pelopor cangkok ginjal di Indonesia, mendiang Prof Sidabutar, telah berupaya menjadikan terapi cangkok ginjal lebih mudah diakses masyarakat yang memerlukan. Halangan utama yang dihadapi adalah kurangnya donor ginjal serta biaya terapi yang mahal.

Untuk mengatasi kekurangan donor ginjal, profesi kedokteran telah meminta fatwa para tokoh agama untuk menjelaskan kepada masyarakat bahwa mendonorkan ginjal merupakan tindakan halal dan bahkan merupakan tindakan mulia. Di negara yang banyak melakukan cangkok ginjal donor ginjal yang banyak adalah justru dari donor jenazah, bukan dari orang hidup. Majelis ulama setahu saya telah membenarkan pengambilan ginjal donor dari jenazah ini.

Di beberapa negara, orang yang meninggal karena kecelakaan lalu lintas, misalnya, ginjal akan digunakan sebagai donor sewaktu orang tersebut mengalami mati batang otak. Ginjal yang disumbangkan akan bermanfaat untuk mereka yang memerlukan.

Kenyataannya, di Indonesia donor ginjal masih dari orang hidup sehingga sulit mendapatkan ginjal dalam jumlah lebih banyak. Donor ginjal dari jenazah (kadaver) belum berjalan.

Masalah kedua adalah biaya. Cangkok ginjal memerlukan tindakan operasi, obat untuk menekan penolakan ginjal yang dicangkokkan, serta berbagai obat penunjang keberhasilan cangkok ginjal. Biayanya memang dapat mencapai ratusan juta rupiah, tetapi menurut perhitungan pakar sebenarnya biaya cangkok ginjal lebih murah daripada biaya cuci darah yang berkepanjangan.

Masyarakat memang amat berharap asuransi kesehatan, utamanya milik pemerintah, dapat memelopori dukungan terhadap biaya cangkok ginjal ini. Meski kita memahami pengeluaran biaya cangkok yang besar secara sekaligus ini akan memberatkan keuangan perusahaan asuransi, tetapi kita juga memahami keputusan tersebut memerlukan perhitungan dan pertimbangan matang.

Sebenarnya cangkok ginjal di Indonesia masih berjalan. Di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sebenarnya masih dilakukan cangkok ginjal meski jumlahnya tidak banyak. Sekiranya masalah donor dan biayanya dicarikan jalan keluarnya, banyak penderita dapat ditolong. Di samping itu, pengalaman rumah sakit di Indonesia akan meningkat yang akan berbuah pada mutu layanan yang lebih baik.

Tampaknya masyarakat, profesi kedokteran, pemerintah dan swasta perlu diingatkan kembali pada pentingnya cangkok ginjal.

Sudah tentu cara yang termurah adalah memelihara kesehatan, termasuk kesehatan ginjal, caranya lebih mudah dan juga lebih murah. Jalanilah gaya hidup sehat. Periksakan diri secara teratur untuk mendeteksi hipertensi, diabetes melitus, atau infeksi ginjal. Obati infeksi ginjal dengan baik.

Jika ada batu ginjal, berobatlah; jangan sampai jatuh pada keadaan terlambat, yaitu gagal ginjal terminal. Penderita diabetes melitus harus berupaya mengendalikan kencing manisnya agar tidak timbul penyulit gagal ginjal. Begitu pula penyakit lupus eritematosus sistemik harus dikendalikan karena salah satu penyulitnya adalah gagal ginjal.

Selain itu, perlu hati-hati mengonsumsi obat dalam jangka panjang. Beberapa obat memengaruhi fungsi ginjal dan jika obat tersebut digunakan tanpa memantau fungsi ginjal akan dapat menimbulkan gagal ginjal.

Saya merasa prihatin dengan keadaan kakak Anda serta para penderita gagal ginjal lainnya. Mudah-mudahan kita bersama dapat mencari jalan keluar untuk menolong saudara-saudara kita itu.



Sumber : KOMPAS

cangkok ginjal jadi solusi total

Banyak orang masih menganggap cuci darah merupakan solusi masalah gagal ginjal. Padahal, seperti dijelaskan ahli ginjal dr Djoko Santoso SpPD K-GH PhD dalam talkshow di radio JJFM, Kamis (4/10), cuci darah hanya menyelesaikan masalah gagal ginjal yang bersifat mekanik. Cuci darah alias hemodialisis tidak bisa menggantikan masalah metabolik.

“Solusi total terhadap penderita gagal ginjal adalah menjalani cangkok ginjal. Masalahnya, cangkok ginjal tidak mudah dilakukan. Selain ketersediaan dana, ada syarat-syarat yang harus dipenuhi pendonor maupun resipien (penderita gagal ginjal yang akan menerima ginjal baru, red.),” ujar dr Djoko.

Pendonor dan resipien tidak boleh mengidap TBC, tumor, dan kanker. Infeksi yang bersifat kronis di daerah pembuluh darah pantang terjadi. Karies gigi yang sepintas tak berhubungan dengan ginjal pun harus dibersihkan.

Idealnya, lanjut Djoko, pendonor memiliki hubungan darah dengan resipien agar reaksi penolakan tubuh terhadap kehadiran ginjal baru tidak terlalu besar. Donor ginjal yang merupakan saudara kembar dari resipien merupakan alternatif terbaik.

Setelah pendonor yang sesuai ditemukan, resipien wajib di-screening. Mulai dari ujung rambut hingga ujung kaki mesti diperiksa. “Persiapan harus benar-benar bagus karena saat ginjal pendonor masuk ke tubuh penderita, tubuh akan mengenalinya sebagai benda asing dan spontan memberikan reaksi penolakan,” papar Dr. Djoko.

Untuk meminimalkan reaksi penolakan oleh tubuh, penderita yang baru saja menjalani cangkok harus mengonsumsi obat tertentu. Obat itu wajib diminum seumur hidup dengan dosis disesuaikan dengan kondisi penderita.

Untuk menjaga agar ginjal barunya tetap prima, selain mengonsumsi obat, penderita idealnya bergaya hidup sehat. Di antaranya, berolah raga teratur, menjaga pola makan, dan mengatur keseimbangan antara waktu istirahat dan bekerja.

Di sisi pendonor, tidak ada dampak kesehatan yang akan timbul. Beban psikislah yang lebih mungkin muncul. Karena itu, biasanya ada psikiater yang mendampinginya.

“Mengingat pencangkokan ginjal adalah operasi yang kompleks, yang terlibat bukan hanya dokter ahli ginjal. Ada juga dokter ahli jiwa, THT, urologi, gigi, psikiater, bahkan ahli hukum,” papar Djoko.

Biaya cangkok ginjal di dalam negeri saat ini Rp 250-300 juta. Biaya itu belum termasuk obat-obat pascaoperasi yang mencapai Rp 4 juta per bulan. Biaya pencangkokan bisa membengkak hingga enam kali lipat bila dilakukan di luar negeri. Kecuali, di China yang untuk kelas-kelas tertentu cangkok ginjal “hanya” menghabiskan biaya Rp 200 juta. (lee)